Sekarang, kita menempati penghujung tahun 2016. Untuk mencapai masa keemasan negara kita yaitu negara Indonesia, masih butuh 29 tahun lagi. Namun,sebuah pertanyaan terngiang di pikiran kita semua. Akan seperti apa dan bagaimana budaya Indonesia di  2045 mendatang?

Dilihat dari problematika yang ada, tahun ke tahun Indonesia dibanjiri dengan variasi masalah yang tidak dapat dipungkiri bahwa masalah tersebut susah untuk dihentikan dengan waktu instan. Contohnya saja masalah terhadap budaya dan pariwisata di Indonesia. Pentingnya aspek budaya dan pariwisata harus lebih ditingkatkan dan diperhatikan. Kedua aspek ini saling berkaitan dikarenakan budaya menjadi salah satu objek pariwisata yang dapat meningkatkan jumlah turis asing datang ke Indonesia dan sesuai harapan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan bahwa sektor pariwisata akan menjadi pilar utama perekonomian nasional dan berharap agar Indonesia dapat menjadi negara pariwisata pada umur 100 tahun.

Selain itu, saat ini muncul bibit masalah baru di bidang pariwisata dan kebudayaan yaitu eksploitasi budaya yang berlebihan demi kepentingan pariwisata. Ada banyak kebudayaan yang dieksploitasi secara berlebihan dan kurang dilestarikan kembali. Sehingga dapat dikatakan, budaya saat ini hanya dijadikan sebagai “barang jualan” yang dijual ke wisatawan untuk kepentingan pariwisata. Apalagi, banyak budaya di Indonesia memiliki nilai sakral tersendiri yang tidak dapat dipertontonkan maupun benda sakral yang tidak dapat dipamerkan. Akibatnya, kondisi tersebut menyebabkan ruang sakral suatu kebudayaan dikalahkan oleh kebutuhan pariwisata dalam hal komoditas ekonomi dalam pembangunan negara yang orientasinya adalah untuk mendapatkan uang. Jika eksploitasi budaya secara berlebihan terus berjalan, desakralisasi budaya akan menjadi salah satu masalah yang besar bagi negeri ini. Masalah tersebut tidak boleh dibiarkan terus menerus. Khususnya pada masa yang akan datang. Walaupun masalah ini tidak begitu berdampak besar pada pelaku pariwisata, namun sangat berdampak besar bagi kebudayaan itu sendiri karena kita dapat melihat bahwa pariwisata menjadikan budaya sebagai objek yang seenaknya diambil oleh pelaku pariwisata dan dijadikan sebagai sesuatu yang dapat menarik minat pengunjung.

Lalu, bagaimana cara kita menanggapi masalah ini? Eksploitasi budaya sendiri tidak dapat dipungkiri bahwa, hal tersebut menjadi salah satu masalah yang tidak dapat dihentikan namun dapat diminimalisir. Salah satunya dengan cara komodifikasi budaya. Cara ini merupakan cara alternatif untuk meminimalisir eksploitasi budaya yang berlebihan. Komodifikasi sendiri adalah transformasi hubungan yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual. Yang berarti, suatu kebudayaan akan dirubah dan tidak sesuai dengan aslinya lagi. Dalam artian, budaya yang diubah adalah budaya yang akan digunakan sebagai objek pariwisata. Sesuai dengan realita, budaya tidak dapat terlepas sebagai objek pariwisata yang dijadikan sebagai daya tarik untuk menarik minat pengunjung.

Jika pemerintah dan pelaku pariwisata melakukan komodifikasi kebudayaan, maka kebudayaan yang dipamerkan dalam aspek pariwisata, bukan merupakan kebudayaan aslinya. Melainkan budaya yang telah dikomodifikasi “menyerupai” aslinya. Sehingga, keaslian dan nilai sakral budaya tersebut tidak sepenuhnya tereksploitasi untuk pariwisata. Salah satu contoh seperti tradisi pengobatan Balia. Tradisi pengobatan ini merupakan tradisi pengobatan di Palu, Sulawesi Tengah yang memiliki nilai  magis yang sangat tinggi. Sayangnya, tradisi pengobatan ini kadang dijadikan sebagai pertunjukkan diatas panggung yang dipertontonkan. Sehingga, keaslian dan kesucian budaya tersebut dapat dikatakan tergerus demi kepentingan pariwisata ini. Jika komodifikasi dilakukan dalam tradisi ini, maka kebudayaan tersebut dapat ditampilkan dengan syarat membuat suatu kreasi maupun membuat tradisi tersebut tidak sama persis dengan aslinya. Dan tidak menampilkan tradisi aslinya ke khalayak ramai. Sehingga komodifikasi dapat membuat tradisi tersebut tidak “menjual” keaslian dan nilai sakral suatu budaya untuk kepentingan pariwisata.

Dengan cara ini, sektor pariwisata yang dimana, terdapat statement bahwa “budaya untuk pariwisata” bisa diminimalisir agar budaya tidak ter-eksploitasi secara berlebihan. Dan dapat terjaga kelestariannya dan kesuciannya untuk Indonesia bisa menjadi negara pariwisata namun tetap memperhatikan kebudayaan yang dijaga dengan baik. Dan itulah satu-satunya jawaban sekaligus menjadi solusi terhadap aktivitas eksploitasi budaya yang telah merajalela di tanah tercinta kita, Indonesia.

 

RIFLY MUBARAK

SISWA SMU AL MADANI-SULAWESI TENGAH – INDONESIA