DeveNews.com- Jakarta. Pastinya sulit membayangkan nonton film di bioskop tanpa sekotak popcorn dan soda. Bagi kebanyakan orang, membeli popcorn ketika hendak nonton di bioskop sudah wajib hukumnya. Rasanya, nonton film kesayangan tidak akan lengkap jika tidak ditemani sekantong popcorn dengan rasa asin atau manis.
Dilansir dari mentalfloss.com, popcorn sendiri sudah populer sebagai snack / jajanan ringan sejak tahun 1800-an, dimana event-event seperti karnival dan pekan raya mulai bermunculan di berbagai kota di dunia. Event yang digandrungi oleh masyarakat tersebut mempermudah para penjual kaki lima (street vendors) dalam menjual cemilan yang mudah dibuat dan memiliki rasa lezat yang disukai semua orang ini. Mesin pembuat popcorn otomatis pertama kali diciptakan pada tahun 1885, namun pada saat itu popcorn hanya populer sebagai jajan pinggir jalan saja dan belum dijual di dalam teater maupun bioskop, karena pihak pengelola khawatir hal ini akan mengotori studio teater.
Selain itu, pihak teater (terutama teater atau opera yang memiliki harga tiket mahal pada saat itu) melarang membawa snack ke dalam ruangan karena selain mengotori, suara yang ditimbulkan dari mengunyah snack seperti popcorn akan mengganggu ketenangan penonton lain selama film / pertunjukkan berlangsung. Di masa silam, teater dan bioskop hanya diperuntukkan bagi penoton dari kalangan atas dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, oleh karena itu mayoritas penontonnya menjadikan teater sebagai sarana edukasi dibanding hiburan belaka.
Di tahun 1972, bioskop dan teater mulai memperluas target penonton mereka dari berbagai kalangan dan menurunkan harga tiket menjadi lebih terjangkau. Pergi menonton ke bioskop dan teater pun mulai menjadi pilihan alternatif hiburan bagi sebagian besar lapisan masyarakat dari berbagai umur dan latar belakang. Great Depression yang sempat terjadi di Amerika juga membuat sebagian besar masyarakatnya memilih untuk pergi ke bioskop untuk lepas sejenak dari realitas dan rutinitas hidup. Cheap entertainment that would help them to get lost in a new reality. Movies fit the bill.
Kesempatan ini pun digunakan bagi para pedangan kaki lima yang menjual popcorn untuk menjajakan dagangannya di depan bioskop yang selalu ramai dipadati penonton. Harga biji jagung yang relatif murah pada saat itu turut mempengaruhi harga popcorn yang dijual dengan murah meriah per bungkusnya. Hal ini pastinya menjadi magnet tersendiri bagi para penonton untuk membeli snack murah di depan bioskop sebelum masuk ke dalam studio teater. Lama kelamaan, pihak pengelola memberikan ijin bagi para pedagang popcorn untuk membuka kedai sendiri di dalam lobi bioskop dengan harga sewa tempat yang murah.
Melihat tingginya antusiasme dan minat penonton untuk membeli popcorn sebagai teman cemilan ketika menonton film di bioskop, pihak pengelola pun mulai merintis usaha popcorn secara pribadi. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk usaha dari para pemilik bioskop untuk tetap bertahan dalam melewati masa-masa Great Depression, terutama di Amerika.
Ketika perang dunia II berlangsung, tingkat penjualan popcorn di Amerika sangatlah tinggi. Popcorn tidak hanya diperdagangkan untuk masyarakat umum saja, namun juga menjadi salah satu makanan yang dikirim ke luar negeri bagi para tentara AS yang sedang bertempur sebagai pengganti permen dan soda. The food’s popularity continued to grow, and the rest is movie history. [][Bella Setiawati]]
Editor : Shofi Muhaya